JAKARTA, KABAR.ID- Indonesia dan Singapura menandatangani perjanjian baru terkait flight Information Region (FIR) pada 25 Januari. Sebagian melihat hal tersebut sebagai langkah maju, tetapi ada pula pihak yang berpendapat bahwa kesepakatan baru itu tidak merubah apapun.
Salah satu yang berpendapat bahwa tidak ada banyak perubahan dalam perjanjian FIR yang baru adalah Guru Besar Hubungan Internasional, Universitas Indonesia, Prof Hikmahanto Juwana.
“Tunggu dulu, yang diambil alih ini apa sih sebenarnya? Luasan atau ketinggian. Karena di luasan tertentu, yang sudah dikelola oleh Indonesia, tetapi dalam ketinggian tertentu itu masih dipegang oleh Singapura, atas dasar pendelegasian,” kata Hikmahanto, dalam diskusi yang digelar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dan Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara pada Selasa (8/2).
Sama dengan Perjanjian 1995
Hikmahanto mengingatkan, Indonesia dan Singapura sudah memiliki perjanjian serupa pada 1995. Dalam kesepakatan itu, Indonesia mendelegasikan kewenangan pengelolaan FIR di wilayah Riau, Natuna dan sekitarnya kepada Singapura. Pemerintah menyatakan FIR itu telah kembali, tetapi juga pada saat bersamaan pengelolaannya didelegasikan ke Singapura.
“Lalu, pertanyaan saya apa bedanya? Kalau misalnya ceritanya sama yang 1995 dan 2022. Menurut saya glorifikasinya terlalu kenceng juga. Jangan kalau menurut saya,” tambahnya.
Ia juga mengingatkan, pasal 458 Undang-undang Penerbangan tahun 2009 menegaskan bahwa wilayah udara RI yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan pada negara lain, harus kembali ke Indonesia maksimal dalam jangka waktu 15 tahun.
Artinya, FIR itu menurut amanat undang-undang harus dikelola penuh Indonesia dalam dua tahun mendatang. Namun faktanya, perjanjian baru pada Januari lalu akan berlaku setidaknya dalam 25 tahun ke depan.
Presiden Joko Widodo sendiri pada 2015 pernah menyuarakan perebutan FIR dari Singapura. Pada 2017 Direktur Utama Airnav mengatakan bahwa pihaknya melakukan investasi besar-besaran untuk mempersiapkan pengelolaan FIR secara utuh pada 2019.
“Airnav sekarang harus bisa, karena sudah investasi,” ujar Hikmahanto yang juga merupakan Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani ini.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio melihat dampak luas dari perjanjian yang baru terlaksana antara Indonesia dan Singapura itu.
“Kita harus waspada terhadap upaya Singapura ini untuk melakukan pengambilalihan FIR di seluruh region di ASEAN. Banyak yang bilang tidak mungkin. Itu mungkin,” kata Agus dalam acara diskusi yang sama.
Ia menilai apa yang terjadi saat ini adalah karena tim negosiasi kurang cermat ketika membahas detil dari perjanjian yang dibuat. Tidak mengherankan jika akhirnya, setelah ditandatangani dan dibaca secara menyeluruh, perjanjian tersebut memiliki banyak kekurangan.
“Tugas kita adalah bagaimana supaya DPR tidak meratifikasi, supaya kita bisa duduk lagi, berunding,” ujarnya.
Tetap Berdampak Positif
Di lain hal, Adya Paramita Prabandari, ahli hukum penerbangan Universitas Diponegoro, Semarang, justru melihat ada banyak sisi positif dari perjanjian ini.
Sisi positif itu, menurutnya, antara lain adalah bahwa wilayah udara Kepulauan Riau dan Natuna sudah beralih masuk ke wilayah FIR Jakarta. Hal tersebut merupakan perluasan ruang lingkup bagi Indonesia.
“Secara politik, ini juga merupakan bentuk pengakuan yang diberikan kepada Indonesia, bahwa Indonesia mampu untuk mengelola FIR dan memberikan jasa penerbangan sesuai standar internasional yang ditetapkan oleh ICAO,” kata Adya.
ICAO adalah International Civil Aviation Organization, atau organisasi penerbangan sipil internasional.
Secara ekonomi, Adya juga menilai Indonesia diuntungkan karena berhak memberikan penyediaan layanan jasa penerbangan dalam wilayah yang termasuk dalam FIR Indonesia, dan menarik biaya.
“Terhadap wilayah Kepulauan Riau dan Natuna yang sudah menjadi wilayah Indonesia namun sekarang didelegasikan pengelolaannya kepada Singapura, berarti Singapura memiliki kewajiban untuk menyetorkan biaya penyediaan jasa penerbangan di wilayah udara Indonesia yang didelegasikan kepadanya,” tambah Adya.
Dengan demikian, Indonesia akan menerima tambahan penerimaan negara bukan pajak berkat perjanjian ini. Biaya itu sendiri masih harus dibicarakan.
Di lain pihak, Indra Sanada Sipayung, Wakil Tetap Pengganti Indonesia untuk ICAO menyebut sejumlah alasan mengapa wewenang itu tetap harus didelegasikan kepada Singapura.
“Penyesuaian wilayah udara untuk FIR itu harus mempertimbangkan kondisi struktur jalur penerbangan di atas wilayah udara tersebut dan lebih mempertimbangkan alasan efisiensi pelayanan ketimbang garis batas,” kata Indra.
Dalam pertimbangan teknis juga diketahui bahwa ada jalur-jalur penerbangan yang akan masuk lewat Singapura dan ada kebutuhan tertentu dari negara tersebut, terkait masuk dan keluarnya pesawat.
“Untuk kepentingan efisiensi, kita tidak mungkin memberikan layanan dari ATC Jakarta, sementara dari satu sisi kita tidak mungkin meminta kepada ATC Singapura untuk turun digantikan oleh ATC Jakarta,” tambah Indra (VOA)