JAKARTA, KABAR.ID- Sejak 19 Agustus 2019, Tanah Papua dan Papua Barat kembali bergejolak. Gelombang aksi unjuk rasa terjadi di beberapa kabupaten dan kota di Bumi Cenderawasih, yang sebagian disertai pula dengan aksi kerusuhan.
Terkait hal tersebut, Anggota DPR RI Rofik Hananto mengatakan, perlu dibangun dialog yang komprehensif dan inklusif dalam menangani konflik yang terjadi di Provinsi Papua.
“Jika dialog yang komprehensif dan inklusif berhasil diaplikasikan pada Konflik Papua, maka bukan hanya pada saat proses penyelesaian konflik upaya membangun trust dilakukan, namun pada saat dan sesudah kesepakatan perdamaian dicapai pun, trust harus dirawat dan dijaga,” ujar Rofik dalam rilisnya belum lama ini.
Lebih dari itu, sambungnya, tindak lanjut atas kesepakatan perdamaian harus terus ditegakkan. Menurutnya, Papua harus dibangun dari seluruh arah dan elemen serta oleh seluruh kalangan. Penegakan hukum, pembangunan ekonomi, peningkatan dan pemerataan kualitas pendidikan dan kesehatan, serta pembangunan-pembangunan lain di segala sektor harus terus dilakukan, agar Papua dapat merasa bangga bersama NKRI.
“Dialog Aceh yang berhasil mengakhiri konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan TNI merupakan bukti bahwa pemerintah Indonesia memiliki kemampuan untuk mengupayakan dialog yang semacamnya di Papua. Dengan belajar dari Kasus Aceh, dialog juga dapat dilakukan untuk Papua,” terangnya.
Pemerintah, lanjut Rofik, dapat menggunakan pendekatan personal dengan menunjuk aktor di belakang layar dan melakukan second track diplomacy dengan melibatkan pihak ketiga yang berperan sebagai mediator atau negosiator. Kedua pendekatan ini bertujuan membuka komunikasi dan membangun trust di kalangan pro-kemerdekaan Papua terhadap Pemerintah Indonesia maupun sebaliknya,” papar politisi Fraksi PKS tersebut.
Dikatakannya, pendekatan koersif yang dilakukan pemerintah dalam menangani konflik di Papua memang menjadi banyak perhatian dan perdebatan dari berbagai kalangan termasuk dunia internasional. Pemerintah memang tidak salah dalam menggunakan pendekatan tersebut, namun seharusnya bukan satu-satunya jalan, harus dibarengi langkah-langkah lain secara komprehensif.
Tujuan pertahanan dan keamanan daerah, jelas Rofik, seharusnya lebih mengutamakan kesejahteraan sosial di daerah tersebut. Pembangunan kondisi keamanan merupakan upaya kolektif jangka panjang, maka seharusnya menjadi komitmen dan tanggung jawab bersama. Dalam beberapa kasus, pendekatan koersif, termasuk militer dan pengawasan yang ketat terhadap komunitas tertentu, justru malah dapat membuat gerakan kelompok tersebut semakin berkembang, termasuk dapat mengakibatkan banyak korban sipil.
“Ketika Pemerintah hanya fokus menyelesaikan konflik melalui pendekatan koersif, memang menyelesaikan permasalahan namun tidak akan bertahan lama. Ketika tersulut, maka akan memanas kembali, karena sebenarnya akar utama masalah belum selesai,” tutur Rofik. (dep/es/dpr/kb)