JAKARTA, KABAR.ID – Indonesia Packaging Recovery Organization (IPRO) dan L’oréal menyampaikan komitmennya dalam mendukung ekonomi sirkular dalam peningkatan pengumpulan dan daur ulang kemasan bekas.
“Tujuan kami adalah untuk meningkatkan pengumpulan klaim kemasan bekas dan daur ulang dengan memverifikasi aliran keuangan, mematuhi standar sosial dan lingkungan mengikuti praktik terbaik internasional menuju ekonomi sirkular di Indonesia,” kata Zul Martini Indrawati, General Manager IPRO ketika menjadi pembicara Media Workshop L’Oréal di salah satu restoran di kawasan Menteng, Jakarta Pusat (8/2). IPRO merupakan inisiatif perusahaan yang tergabung dalam Asosiasi Pengemasan dan Daur Ulang untuk Lingkungan Berkelanjutan (PRAISE).
Pada kesempatan tersebut, Indrawati menyampaikan kondisi persampahan di Indonesia dan peluang serta pengelolaannya. Menurutnya volume sampah berkaitan dengan dengan jumlah penduduk, karakter masyarakat dan pengambilan kebijakan. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), volume sampah nasional terus mengalami kenaikan, misalnya tahun 2021 mencapai 68,5 juta ton dan naik ke 70 juta ton tahun 2022, dengan 17% diantaranya adalah sampah plastik, dan hanya 10% sampah plastik yang bisa didaur ulang.
Indrawati menuturkan ada beberapa tantangan dalam pengelolaan sampah di Indonesia di Indonesia antara lain dukungan sektor publik tidak memadai (awareness rendah), bisnis persampahan yang belum populer, serta dukungan politik yang tidak memadai terutama penyediaan anggaran pemerintah yang relatif minim.
Sejak UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah disahkan, pemerintah mewajibkan TPA dikelola dengan metode sanitary landfill, di mana dengan sistem ini sampah dibuang dan ditumpuk di lokasi yang cekung, kemudian dipadatkan dan ditimbun di dalam tanah.
Sistem sanitary landfill banyak digunakan oleh tempat pembuangan akhir (TPA) di berbagai kota di Indonesia. Dengan sistem sanitary landfill ini bisa mengurangi pencemaran udara karena sampah ditimbun di dalam tanah. Namun kekurangan sanitary landfill antara lain pencemaran air dari sampah organik atau kimia yang menghasilkan cairan berbahaya dan merembes ke dalam tanah, ledakan dari gas metana sebagai hasil pembusukan sampah yang tidak dialirkan dengan baik. Ledakan metana dapat menimbulkan ledakan yang membahayakan keselamatan manusia. Kekurangan lain adalah penggunaan lahan yang luas untuk TPA di wilayah kota besar dengan penduduk yang padat, membuatnya sulit direalisasikan.
Perubahan paradigma dalam pengelolaan sampah dari dari ekonomi linear ke ekonomi sirkular telah terjadi dalam beberapa dekade terakhir di seluruh dunia. “Konsep ekonomi sirkular menerapkan prinsip 3R dan 5R yaitu Repair, Recovery, Reduce, Reuse dan Recycle. Konsep ini bisa diimplementasikan rantai pasok bank sampah, TPS hingga TPA,”ujar Indrawati.
Pemerintah Indonesia beberapa waktu lalu juga telah melakukan suatu target strategis untuk mengurangi tumpukan jumlah sampah palstik yang masuk ke lautan sebesar 70% di tahun 2025. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menerapkan ekonomi sirkular.
Ekonomi sirkular, ekonomi berdaur, atau ekonomi melingkar adalah sebuah alternatif untuk ekonomi linier tradisional (buat, gunakan, buang) di mana pelaku ekonomi menjaga agar sumber daya dapat dipakai selama mungkin, menggali nilai maksimum dari penggunaan, kemudian memulihkan dan meregenerasi produk dan bahan pada setiap akhir umur layanan.
Ekonomi sirkular merupakan sistem industri yang bersifat restoratif dan regeneratif dengan suatu desain yang menggantikan konsep ‘akhir hidup’ produk ke arah penggunaan energi yang terbarukan, menghilangkan penggunaan bahan kimia beracun, serta bertujuan untuk penghapusan limbah melalui desain unggul bahan, produk, sistem, dan model bisnis.
Pada sistem ekonomi sirkular, penggunaan sumber daya, sampah, emisi, dan energi terbuang diminimalisir dengan menutup siklus produksi-konsumsi dengan memperpanjang umur produk, inovasi desain, pemeliharaan, pengunaan kembali, remanufaktur, daur ulang ke produk semula (recycling), dan meningkatkan nilainya melalui daur ulang (upcycling).
Dalam konteks keberlanjutan produk plastik, konsep ekonomi sirkular dapat diterapkan melalui beberapa cara misalnya: recycling plastik, upcycling plastik sebagai campuran aspal, mengubah plastik bernilai ekonomi rendah menjadi bahan bakar atau energi, dan sebagainya.
Selain itu, konsep ekonomi sirkuler adalah mengubah limbah menjadi keuntungan. Diharapkan dengan menggunakan konsep ekonomi sirkuler, pendapatan global pada tahun 2030 mencapai USD4,5 triliun dan meninggkat hingga USD40 triliun pada tahun 2050.
Ekonomi sirkular terdiri dari tiga prinsip utama, yakni mengurangi sampah dan polusi, menggunakan produk atau bahan secara terus-menerus, dan memperbarui sistem alam.
Hal ini didasarkan atas meningkatnya penggunaan energi terbarukan yang semakin dipercepat oleh adanya inovasi digital. Ekonomi sirkular merupakan model ekonomi yang tangguh, distributif, beragam, dan inklusif. Ekonomi sirkular adalah pengejawantahan konsep ekonomi yang menggabungkan pembangunan berkelanjutan dan pengimplementasian ekonomi hijau.
Hal senada juga disampaikan Fikri Alhabsie, Sustainability Lead at L’Oréal menyampaikan L’Oréal indonesia dukung upaya pemerintah percepat dan pengurangan serta pengumpulan sampah plastik khususnya PP& MLP melalui komitmen L’oreal For Future.
Ia mengungkapkan sudah 40 tahun yang lalu, L’oreal sudah konsen di sustainablity. “Komitmen itu diterjemahkan melalui transformasi aktivitas kami menghormati batasan planet, memberdayakan ekosistem bisnis dan berkontribusi untuk memecahkan masalah dunia mulai iklim, air, sampah, keragaman hayati, komunitas dan keuangan,”jelasnya.
Fikri juga menyampaikan L’oreal Indonesia telah membuat aplikasi e-recyle Garnier untuk mengumpulkan sampah dari produk L’Oréal, dan selanjutnya didaur ulang kembali menjadi produk yang bisa dimanfaatkan. Saat ini sudah aplikasi tersebut sudah menggerakkan 300 ribu konsumen untuk partisipasi.
“Target L’Oréal Indonesia : 78 pengurangan virgin plastik dan 26 persen pengumpulan sampah di 2025,”tambahnya.
Edukasi
Sementara Dr. Lina Tri Mugi Astuti, S.E., M.M, dosen ilmu lingkungan Universitas Indonesia menekankan perlunya edukasi pengelolaan sampah pada masyarakat termasuk di level pegawai pemerintah yang banyak abai terhadap persoalan sampah.
Ia mengungkatkan saat ini paradigma pengelolaan sampah saat ini kebanyakan semua jenis masih menumpuk di TPA, untuk dijadikan energy recovery dan recycle/composting masih sedikit. “Pemilihan masih dilakukan di TPST maupun bank sampah. Ini tugas skrg, pemilihan sampah dimulai dari rumah atau kantor. Kami mengedukasi pegawai pemerintah,”ujarnya.
Ia mengungkapkan tahun 2017, reduce/reuse sudah dimulai, namun belum berkembang bahkan cenderung menurun.
“Pola pengelolaan sampah saat ini, kumpul-angkut-timbun TPA. Belum ada perubahan. Bahkan beberapa tempat seperti di Pondok Rangon, masih banyak sampah yg tercecer di jalan,”ungkapnya.
Ia juga mengungkapkan berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, di seluruh TPA ada pemulung besar, atau aktor. di TPA masih dipulung, diolah dan dumping di beberapa TPA, mesin pengelolaan sampah tidak beroperasi karena rusak, biaya pemeliharaan tidak ada.
Sampah dihasilkan menurut KLHK mencapai 60 juta ton pertahun. KLHK rencana menghentikan pembukaan TPA pada tahun 2030. “Saya menyarankan tidak membangun TPA dgn konsep skrg, jadi dumping tapi bikin TPA untuk pengolahan. Anggaran sampah itu, kebanyakan habis di transportasi, Di setiap TPS, tidak mampu membiayai biaya operasional, perlu pendampingan, supaya mengerti tentang pengelolaan sampah. ”imbuhnya.
Lina mengaku mendukung pencanangan untuk meniadakan TPA, dengan membangun gerakan pengelolaan sampah di sektor hulu yaitu reduce/reuse.
“Di luar, sudah mulai kencang circular economy. Sirkular ekonomi bertujuan untuk menjaga nilai dari produk bahan baku dan sumber daya untuk durasi selama mungkin dengan mengembalikan ke siklus produknya sampai habis masa pakainya, yang berfungsi sebagai upaya meminimalkan timbulan sampah,”tuturnya
Ia menambahkan gerakan keberlanjutan lingkungan bisa dimulai dari modal sosial yang dibentuk melalui pendidikan dan kesehatan dan dapat menciptakan aktivitas ekonomi yang berkeadilan (Marwan Azis/Igg Maha Adi)