Suasana massa duduk melingkar di halaman DPR saat mereka melakukan aksi piknik di Senayan desak perubahan. Foto : Antara.
JAKARTA, KABAR.ID– Bila aksi demonstrasi disebelumnya diwarnai kericuhan bahkan menyebabkan korban jiwa, aksi yang dilaksanakan pada Jumat (5/9) berlangsung damai, bahkan berubah jadi pesta piknik yang penuh warna di depan gedung DPR RI. Inilah kisah “Demo tapi Piknik 17+8,” unjuk rasa damai yang sarat makna dan estetika.
Pada 5 September 2025, ratusan mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad) dan elemen masyarakat berkumpul di halaman DPR/MPR dengan semangat yang jauh berbeda dari biasanya. Mereka datang mengenakan kostum warna-warni—merah muda (“brave pink”), hijau muda (“hero green”), kuning, merah, hijau—dan duduk bersila melingkar, membentuk “formasi U”, seolah sedang berpiknik santai.
Satu sisi ruang berubah menjadi lapak buku: buku “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer, “Laut Bercerita”, karya Soe Hok Gie, hingga Animal Farm, ditata rapi di atas spanduk merah.
Beberapa remaja duduk bermain kartu Uno, sementara di sisi lain, konten kreator seperti Bobon Santoso membagikan nasi kotak dan es teh berlabel “Dari Rakyat untuk Rakyat”.
Pesan di Balik Warna dan Tawa
Ketua BEM KM Unpad, Vincent Thomas, menyatakan bahwa pendekatan visual—warna cerah, aksi fun, nuansa piknik—memiliki kekuatan tersendiri dalam meresap ke benak masyarakat awam. Kreativitas seperti ini dinilai bisa “beresonansi lebih baik” daripada teriakan kecam dalam unjuk rasa konvensional.
Mahasiswi Ammara Zodiena berbagi, ia merasa lega karena bisa menyuarakan aspirasi di pusat kekuasaan—Jakarta—yang menurut Ammara seperti dikutip Kabar.id dari Detik.com, lebih pantas jadi ruang dengar rakyat. Meski rasa takut sempat menghantui karena ingatan demo ricuh sebelumnya, baginya “diam itu tidak boleh.”
Sedangkan Cindy Veronica menekankan bagaimana aksi ini membuka ruang aktivisme damai yang lebih inklusif, khususnya untuk perempuan. Tidak lagi soal berteriak kencang—aktivisme bisa lewat tawa, buku, dan keterlibatan tanpa tekanan suara keras.
Gugusan Tuntutan: 17 + 8

Kelompok mahasiswa warna-warni. Foto : Antara.
Gerakan ini membawa 25 tuntutan yang dibagi dalam dua periode: 17 tuntutan jangka pendek—setidaknya dipenuhi paling lambat 5 September 2025—dan 8 tuntutan jangka panjang, harus terealisasi dalam satu tahun, hingga Agustus 2026.
Tuntutan-tuntutan itu mencakup isu-isu mendesak seperti investigasi kekerasan selama demontrasi akhir Agustus, pembebasan demonstran yang dikriminalisasi, penghentian kekerasan oleh aparat, pencabutan wacana tunjangan DPR, reformasi lembaga negara, dan pengesahan RUU Perampasan Aset.
Ritual Penutup yang Penuh Makna
Keunikan lain: aksi diakhiri dengan penuh ketertiban. Mahasiswa membersihkan lokasi dari sampah, meninggalkan area tanpa bekas—demonstrasi berjalan tanpa kerusakan dan terjaga kedamaiannya. Kepolisian turut memfasilitasi pengamanan dan suasana kondusif hingga massa meninggalkan tempat.
Aksi “Piknik Nasional Rakyat” bukan hanya sebuah protes. Ini adalah pernyataan bahwa suara rakyat bisa digaungkan dengan keindahan, estetika, dan keberanian yang tak membentur kekerasan.
Dengan memetik kekuatan naratif visual dan budaya, gerakan ini menyampaikan: demokrasi bukan hanya sebuah teriakan—ia juga bisa menjadi semburan warna, kegembiraan, dan keadilan yang tersenyum (Dira).

