Mario Dandy Satriyo. Foto : Antara.
JAKARTA, KABAR.ID — Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi yang diajukan Mario Dandy Satriyo atas vonis kasus pencabulan terhadap mantan pacarnya, AG, yang terjadi saat korban masih di bawah umur.
Keputusan ini menegaskan putusan banding, yakni hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Dari Pengadilan Hingga Kasasi
Putusan kasasi tertuang dalam amar putusan nomor 10825 K/PID.SUS/2025, dengan majelis hakim yang diketuai oleh Hakim Agung Dwiarso Budi Santiarto, serta hakim anggota Yanto dan Achmad Setyo Pudjoharsoyo.
MA menyatakan “Tolak” atas permohonan kasasi yang diajukan Mario Dandy.
Sebelumnya, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Mario Dandy divonis 2 tahun penjara atas tuduhan “membujuk anak untuk melakukan persetubuhan berulang” serta denda Rp 1 miliar, dengan subsider kurungan dua bulan.
Jaksa kemudian mengajukan banding atas putusan itu. Dalam putusan tingkat banding, majelis hakim menilai vonis awal terlalu ringan.
Mereka mempertimbangkan janji Mario Dandy kepada korban bahwa ia akan bertanggung jawab jika terjadi kehamilan sebagai faktor untuk memperberat hukuman.
Akhirnya, Pengadilan Tinggi Jakarta menjatuhkan hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Kronologi Kasus dan Kontroversi
Kasus pencabulan ini mencuat setelah AG – mantan pacar Mario Dandy – melaporkan peristiwa dugaan pelecehan.
Laporan ini sempat ditolak dua kali sebelum akhirnya diterima oleh Polda Metro Jaya.
Sidang kasus pencabulan digelar secara tertutup oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena melibatkan unsur kesusilaan dan korban anak.
Tak hanya kasus pencabulan, nama Mario Dandy juga terkenal karena kasus penganiayaan terhadap Cristalino David Ozora. Dalam kasus tersebut, ia telah divonis 12 tahun penjara.
Implikasi Putusan MA
Dengan ditolaknya kasasi, vonis 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar dari putusan banding menjadi berkekuatan hukum tetap.
Keputusan ini menunjukkan bahwa MA sejalan dengan pertimbangan majelis banding dalam menilai bahwa vonis awal terlalu ringan.
Putusan ini juga mencerminkan sensitivitas sistem peradilan terhadap kasus pidana yang melibatkan anak di bawah umur (korban AG masih anak saat peristiwa), terutama dalam konteks kejahatan kesusilaan.
MA tampaknya mendukung agar hukuman tidak hanya bersifat simbolis, tetapi mencerminkan ekspektasi keadilan yang lebih berat ketika pelaku mempunyai “kewajiban moral” atas janji-janji tertentu kepada korban.
Vonis 6 tahun penjara atas Mario Dandy Satriyo menandai babak penting dalam penegakan hukum terkait kejahatan seksual terhadap anak.
Dengan ditolaknya kasasi, MA menunjukkan sinyal bahwa perilaku eksploitasi anak tidak bisa ditoleransi, terutama bila disertai manipulasi emosional dan janji-janji moral dari pelaku (Wan)

