Ketika mendiskusikan lanskap industri startup pendidikan (edtech) di Indonesia, kita tak bisa melupakan asal muasal mengapa edtech di Asia Tenggara bertumbuh dengan pesat.
Di sejumlah negara di Asia Tenggara, memang masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Di waktu yang sama, masyarakat juga menemui beragam kendala untuk mengakses pendidikan yang berkualitas. Mulai dari ketidaksetaraan sumber daya, letak geografis hingga kurikulum yang kurang memadai.
Indonesia juga menghadapi persoalan tersebut. Menurut Program for International Student Assessment (PISA), Indonesia berada di urutan ke-62 dari 72 negara yang dinilai dalam bidang matematika, sains, dan membaca. Studi ini memperkuat anggapan kalau negara terbesar keempat di dunia ini memang harus membenahi sistem pendidikannya.
Tantangan yang dihadapi edtech di Indonesia
Bermula pada tahun 2004, ketika internet belum banyak digunakan seperti saat ini—Sabda PS dan Medy Suharta merintis Zenius. Mereka berkeinginan meningkatkan pendidikan di Indonesia dengan cara digitalisasi materi pendidikan.
Lima belas tahun kemudian, Zenius bertransformasi menjadi sebuah platform pendidikan yang menyediakan pengalaman pendidikan yang lebih baik bagi siswa-siswi di Indonesia.
Lambat laun, edtech Indonesia pun berkembang lebih inovatif. Setidaknya dalam catatan platform pelacak startup dan perusahaan di sektor inovatif, Tracxn, saat ini ada 118 startup edtech di Indonesia. Jumlahnya pun cenderung mengalami peningkatan.
Meski memiliki spesialisasi masing-masing, setiap startup edtech ini punya tujuan yang sama: pendidikan yang mudah diakses.
Namun, pengembangan edtech tak selalu berjalan mulus. Menurut Head for Education, Research, Healthcare and Not-for-profit Amazon Web Services (AWS) Vincent Quah, startup edtech di Asia Tenggara masih menghadapi dua permasalahan dasar:
- bagaimana melakukan percepatan dalam membangun bisnis mereka, dan
- mencari tahu bagaimana siswa bisa mempelajari konten berkualitas serta mendapatkan pemahaman yang mendalam.
Hampir serupa dengan tantangan umum edtech di Asia Tenggara, berikut beberapa permasalahan yang kerap dihadapi oleh edtech di Indonesia:
Bagaimana edtech menyediakan konten untuk memenuhi kebutuhan pelajar
Ada perbedaan mendasar antara belajar lewat platform edtech dan belajar di ruang kelas. Belajar di ruang kelas identik dengan sistem teacher-centered learning, di mana sumber utama materi belajar berasal dari pengajar.
Interaksi tatap muka yang terjadi di ruang kelas, juga memungkinkan siswa untuk bertanya secara langsung ketika mereka menemukan kesulitan pada saat itu juga.
Sementara belajar melalui platform edtech memerlukan lebih banyak inisiatif, baik dari pengajar maupun siswa. Siswa dituntut lebih mandiri dalam menentukan metode belajar, kapan waktu untuk belajar, dan materi mana saja yang perlu mereka tingkatkan.
Sebagai pengimbang, pengajar juga harus banyak berinovasi untuk mempersiapkan materi pendidikan yang sesuai kebutuhan siswa.
Untuk menyiasati problem tersebut, startup edtech harus bisa menciptakan platform yang menyediakan konten interaktif dan kreatif. Fitur-fitur tersebut memungkinkan pengguna untuk terlibat dalam aktivitas belajar-mengajar.
Tantangan pendidikan bagi pengajar
Menurut Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Gogot Suharwoto, masih banyak pengajar yang belum siap mengadopsi teknologi.
Kelase, edtech yang menyediakan sistem manajemen pembelajaran (LMS) di Indonesia menyebut, rendahnya pemahaman IT di kalangan pengajar menjadi salah satu tantangan mereka dalam menciptakan produk.
Untuk mengatasinya, startup ini menyiapkan tutorial cara menggunakan platform Kelase. Tutorial ini mencakup proses registrasi, bagaimana cara memulai kursus online, serta penggunaan fitur lainnya.
Akses internet
Meski jumlah pengguna internet di Indonesia telah mengalami peningkatan dan mencapai 171 juta orang, kecepatan akses internet di negara ini masih belum merata. Berkaca dari hal ini, startup edtech harus membuat konten yang dapat diakses dengan bandwidth yang minimum.
Membangun platform edtech yang mudah diakses
Melihat beberapa tantangan edtech di Indonesia, kemudahan akses menjadi prasyarat utama untuk memenuhi kebutuhan pengguna. Berikut ini faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan untuk mengembangkan startup edtech yang mudah diakses:
- Personalisasi pengalaman belajar
Pengalaman belajar yang dipersonalisasi penting untuk pengembangan edtech, karena memungkinkan siswa memilih apa yang ingin mereka pelajari. Ini juga memungkinkan siswa dan guru berinteraksi lebih fleksibel.
- Mengukur performa siswa
Jika proses belajar-mengajar secara konvensional menggunakan ujian tertulis dan lisan untuk mengukur performa siswa, edtech perlu menemukan cara yang tepat untuk mengevaluasi progres pembelajaran siswanya. Misal, melengkapi platformnya dengan software yang menyediakan apa yang ingin mereka pelajari.
- Meningkatkan komunikasi
Seperti yang telah disebutkan, pembelajaran konvensional menawarkan komunikasi langsung di antara guru dan sesama siswa. Jika ingin mengembangkan edtech yang mudah diakses, kamu perlu mempertimbangkan fitur yang mengeliminasi kesenjangan dalam proses komunikasi. Contohnya, dengan fitur kolaborasi lewat grup online yang memungkinkan siswa berdiskusi dan membagikan catatan terkait materi dengan pengajar maupun sesama siswa.
- UI/UX yang mudah diakses pengguna
Untuk memberikan pengalaman yang lebih baik kepada pengguna, kamu dapat mempelajari panduan dari Web Content Accessibility Guidelines (WCAG 2.1) yang merangkum unsur apa saja yang perlu ditingkatkan untuk kemudahan akses, seperti: modifikasi visual, audio, serta UX.
Di mana posisi edtech Indonesia selanjutnya?
Bagaimanapun, mengembangkan platform edtech tak hanya tentang memanfaatkan peluang pasar yang cukup besar. Lebih dari itu, ada tanggung jawab sosial yang lebih besar: meningkatkan kualitas pendidikan.
Startup edtech di Indonesia membutuhkan komunitas yang terdiri dari pengembang, pemimpin, dan sesama pengusaha untuk saling memberdayakan.
Pada dunia industri, berbagi wawasan dan pengalaman melalui komunitas akan memberikan lebih banyak akses bagi startup. Khususnya untuk menciptakan produk dan solusi yang meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar.
Sebagai contoh, kamu bisa melihat Arkademi, sebuah platform massive open online course (MOOC) yang berbasis di Indonesia. Saat ini, edtech yang bertujuan menyediakan konten kursus keterampilan praktis ini memiliki lebih dari 400 video pembelajaran.
CEO dan founder Arkademi, Hilman Fajrian, menunjukkan apa yang menjadi kompleksitas ranah pendidikan di Indonesia.
“Semua orang menyukai inovasi, tetapi mereka tidak suka membayarnya. Pendidikan tidak bisa mengimbangi teknologi. Tetapi, jika pendidikan harus mengimbangi teknologi, kami membantu mereka mengadopsi inovasi secara bertahap dan menutup kesenjangan yang ada,” kata Hilman.
Melihat adanya tantangan dalam mengembangkan platform edtech, Arkademi menyadari bahwa, belajar dari praktisi yang berpengalaman akan membantu mengembangkan solusi yang aman, cerdas, scalable, dan efektif secara biaya.
Mereka mengikuti 400 video untuk mewujudkan startup edtech yang mudah diakses dan mampu bergerak cepat dengan manfaat yang dirancang khusus.
Program tersebut juga mendukung startup lewat keterlibatan komunitas, pelatihan khusus, kesempatan pemasaran, bimbingan, serta dukungan teknis, yang membantu mereka bergerak lebih cepat untuk berkembang.
Jika kamu juga sedang mengembangkan startup edtech dan bercita-cita merevolusi pendidikan di Indonesia, AWS EdStart bisa membantumu. Segera daftarkan startup edtech kamu dalam AWS EdStart or Innovator Tier lewat tautan di bawah ini.
Sumber : Tech In Asia