Buah-buahan impor yang membanjiri Indonesia. Foto : ist. |
JAKARTA, KABAR1.COM – Ketergantungan Indonesia pada produk pangan impor sudah sampai pada tahap yang mengkahwatirkan. Presiden Indonesia periode mendatang (2014-2019) diminta harus mampu memberikan perubahan pada tata kelola pangan di Indonesia.
Seruan tersebut disampaikan Direktur Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI), Arnold Sitompul. Menurutnya, selama ini, esensi dari kedaulautan pangan masih belum tersentuh oleh pemerintah, sehingga diperlukan perubahan dari hal yang paling dasar.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan bahwa Indonesia masih aktif melakukan impor berbagai komoditas pangan. Pada kurun waktu Januari hingga Oktober 2013 saja, impor bahan pangan masih tinggi, yaitu sebanyak 15,4 juta ton. Diantara komiditi pangan yang diimpor tersebut adalah beras dengan jumlah mencapai 400 ribu ton, lalu komiditi kedelai mencapai 1,4 juta ton, bahkan singkong pun ikut diimpor dengan jumlah mencapai 100,7 ton.
Kementerian Pertanian memprediksi, di tahun 2014, impor bahan pangan khususnya komoditi kedelai, gula pasir, dan daging sapi masih akan terus diimpor. Ditambah lagi, sensus pertanian BPS mencatat adanya penurunan rumah tangga petani 31,17 juta rumah tangga pada 2003 menjadi 26,13 juta rumah tangga pada 2013.
Arnold menjelaskan, ketergantungan Indonesia dengan produk impor disebabkan karena alih fungsi lahan di wilayah Jawa. Sentra pangan di wilayah Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur telah berubah fungsi menjadi daerah pemukiman dan mengakibatkan produksi pertanian menurun drastis. Selain itu, orientasi pertanian Indonesia yang masih berbasis lahan sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan yang pada akhirnya mengganggu keberlanjutan pertanian itu sendiri.
“Sebagai contoh konversi lahan hutan menjadi pertanian yang tidak terkendali mengakibatkan terjadinya banjir massif didaerah hilir, tanah longsor, dan kekeringan yang tidak di terkendali pada musim kemarau,” ujarnya (29/4).
Problematika lain yang muncul dari tata kelola pangan di Indonesia adalah penganekaragaman pangan yang tidak sinergi dengan rencana pembangunan. Sehingga beberapa wilayah di Indonesia bagian timur sangat tergantung pada padi. Padahal daerah-daerah ini tidak pernah mengkonsumsi padi sejak awal. “Oleh karenannya penganekaragaman pangan melalui pengembangan pangan lokal untuk ketahanan pangan harus menjadi prioritas pemerintah,” tegas Arnold.
Sebagai masukan untuk Presiden Indonesia yang baru nanti, Arnold menyarankan adanya pengembangan produk turunan pangan untuk peningkatan added value sehingga dapat secara langsung memberikan dampak positif pada ekonomi daerah dan nasional.
“Sebagai contoh, produk turunan dari sagu dalam bentuk tepung sagu atau bentuk produk turunan lainnya harus dikembangkan di wilayah Papua sehingga masyarakat Papua bisa dapat lebih memperoleh produk turunan sagu lebih mudah dan biaya rendah. Hal ini akan meningkatkan kemampuan masyarakat Papua untuk berdaulat akan Pangan,” tuturnya.
Kemudian dari sisi pengembangan pangan berbasis kelautan, pemerintah harusnya mau mengeksplorasi kemungkinan tersebut dan menjadikannya prioritas. Produk pangan berbasis laut seperti, budidaya, rumput laut, perikanan keramba dan perikanan tangkap laut lepas perlu mendapat subsidi pemerintah secara langsung. Sehingga kemampuan masyarat untuk mengembangan industri pangan laut semakin meningkat.
Arnold juga menekankan bahwa para petani harus mendapat subsidi pemerintah secara langsung apabila ingin mengembangkan kegiatan pertanian, sehingga resiko kerugian akibat bencana alam, ataupun hama, tidak ditanggung sendiri oleh petani. “Hal ini akan mendorong petani untuk lebih tertarik bekerja di kegiatan pertanian, karena merasa terproteksi oleh pemerintah. Subsidi kepada petani dapat berupa, subsidi langsung pupuk, pinjaman bank untuk pengolahan lahan, dan lain-lain,”jelasnya. (Marwan)