JAKARTA, KABAR.ID- Jelang penyelenggaraan G20 di Indonesia, sejumlah organisasi perempuan yang tergabung dalam Gender Equality and Disability Working Group (GEDWG) C20 berkumpul di Jakarta (21/6) mereka menyuarakan pentingnya pengarusutamaan isu jender dan keadilan ekonomi dalam forum Group of Twenty (G20) yang akan dilaksanakan di Bali pada November 2022 mendatang.
G20 adalah forum utama kerja sama ekonomi internasional yang beranggotakan negara dengan perekonomian besar di dunia. Forum ini beranggotakan 19 negara dan satu lembaga Uni Eropa. Anggota G20 hingga saat ini yaitu Australia, Argentina, Brasil, RRT, Uni Eropa, Jerman, India, Indonesia, Italia, Meksiko, Arab Saudi, Rusia, Korea Selatan, Turki dan Inggris.
Mike Verawati, Koordinator GEDWG mengatakan Indonesia sebagai Presidensi G20, perlu memanfaatkan forum tersebut dengan sebaik-baiknya termasuk dalam pengarusutamaan jender dan keadilan ekonomi.
“Selama ini Forum G20 selalu bicara ekonomi dalam konteks makro, nah penting memastikan jender, disbilitas, kesetaraan sosial (Social equality) dan kaum marginal perlu diperjuangkan. Termasuk persepktif anak harus masuk agenda pembangunan,”ujar Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia.
Dikatakan, di G20 akan membicarakan tujuh agenda penting :
1.Koordinasi langkah penarikan stimulus atau exit policy untuk mendukung pemulihan
2.Mengatasi dampak pandemi covid-19 untuk menjaga pertumbuhan
3.Pembiayaan berkelanjutan
4.Pemajakan internasional
5.Sistem pembayaran lintas negara
6.Inklusi keuangan: digital dan UMKM
7.Persiapan penerbitan mata uang digital bank sentral
Bagi Mike, Forum G20 juga penting membicarakan tentang arsitek layanan kesehatan dunia, mengingat dunia kini diperhadapkan pada kondisi kesehatan yang tidak mudah akibat pandemu COVID-19. Vaksin harus diperoleh semua warga negara untuk menjamin kesehatannya, kemudian keadilan ekonomi diarahkan pada transformasi digital, penguatan ekonomi harus melibatkan semua unsur masyarakat baik perempuan maupun kelompok marginal lainnya, karena masih ada gap (kesenjangan) literasi digital terjadi terutama di desa-desa. Sementara di sektor pengelolaan energi hingga saat ini belum melibatkan masyarakat termasuk perempuan, padahal perempuan juga kerap mencari terobosan ketika terjadi krisis energi.
Menurutnya tujuan Sustainable Deveopment Goals (SDGs) harus terkoneksi dengan Agenda G20. Alasanya selama ini pembangunan terkadang hanya diliat dari segi teknorasi dan keuangan saja, padahal pelibatan masyarakat juga perlu dalam pembagunan, supaya masyarakat bisa merasakan manfaat Agenda G20, mengingat kemiskinan akan terus terjadi, dan kelompok-kelompok marginal yang paling merasakannya, sehingga Agenda G20 sebaiknya diarahkan dan dikonsentrasikan terhadap kelompok marginal, karena mereka bagian dari pembangunan.
Ia menekankan perlunya Forum G20 membahas berbagai topik penting seperti keadilan ekonomi, perlindungan berbasis jender, kesehatan harus memberikan porsi reproduksi perempuan dan menguatkan kepimpinan perempuan dlm berbagai level termasuk ke akar rumput.
Isu keadilan ekonomi dibahas narasumber lainnya, Emmy Astuti Direktur Eksekutif Asosiasi Pendampingan Usaha Kecil Mikro (ASPPUK) yang berbicara pada topik keadilan ekonomi untuk perempuan dengan pendekatan kesetaraan gender dan inklusi sosial memaparkan beberapa persoalan sehingga keadilan ekonomi masih jauh dari harapan.
Ia mengungkapkan data dari Global Gender Gap, 2021, dalam sub indeks partisipasi dan kesempatan kerja menempatkan Indonesia pada posisi ke 99 dari 159 negara. Kesenjangan gender juga tercermin pada Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan perempuan dan upah buruh perempuan dan laki-laki.
Menurut Emmy, penyebab rendahnya tingkat partisipasi perempuan dalam angkatan kerja dikarenakan masalah stuktural, misalnya kebijakan yang belum adil bagi perempuan, kelompok disabilitas dan kelompok rentan lainnya. ” perempuan ingin bekerja namun lapangan pekerjaan tidak tersedia di dalam negeri. Padahal indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam hasil hutan, laut, pertanian, tambang dan lain-lain namun sumber daya alam ini kerap dieksploitasi.
Posisi indonesia hanya sebagai penyedia bahan mentah dan buruh murah bagi negara lain, sementara negara maju memiliki modal, teknologi, dan pengetahuan namun tidak memiliki bahan mentah dan pasar, maka indonesia dijadikan sumber penyedia bahan mentah dan pasar.
“Seharusnya indonesia menjadi negara produsen. Pemerintah harus menyediakan lapangan pekerjaan bagi warganya khususnya bagi perempuan sehingga perempuan tidak perlu meninggalkan keluarganya untuk bekerja keluar negeri sebagai buruh migran”. Tegas Emmy
Masalah struktural lainnya soal pajak. Pajak sebagai sumber penerimaan utama negara untuk melaksanakan pembangunan, lebih banyak diarahkan pada pembangunan fisik belum people oriented, pajak belum responsif jender, seharuanya hasil pajak juga diperuntukkan untuk pemberdayaan ekonomi perempuan usaha kecio mikro, kelompok disabilitas, perempuan dan anak korban kekerasan, pekerja perempuan yang misalnya ia hamil bisa diberi insentif dan gaji full tanpa potongan pajak.
Emmy juga menyoroti menjamurnya waralaba seperti Alfamart, Indomart, yang kini sudah masuk ke desa-desa, sehingga mematikan warung-warung yang banyak dijalankan perempuan usaha kecil mikro
Selain itu lanjut Emmy, marketplace yang ada di Indonesia 90 persen dipenuhi produk impor,sehingga menempatkan Indonesia hanya target market, bukan sebagai negara produsen.
Faktor penyebab lain yang menyebabkan rendahnya partisipasi perempuan dalam angkatan kerja adalah faktor budaya.
“Hambatan kultural yang membatasi perempuan dalam bekerja seperti masih perlu izin suami ketika mau bekerja di luar rumah, belum lagi adanya streotipe di masyarakat yang membatasi perempuan untuk bekerja. “Sering kita dengar masyarakat mengatakan kalau perempuan bekerja, siapa yang akan mengurusi anak dan suami, atau kok si A bekerja, apa suaminya tidak sanggup menafkahi,” kata Emmy
Budaya patriarky menempatkan perempuan hanya sebagai ibu rumah tangga yang bertugas sebagai pendamping suami, sehingga kalaupun perempuan banyak menjadi pelaku usaha kecil mikro, itu tidak dianggap dan dihargai, padahal ia berkontribusi tidak saja bagi keluarganya namun juga turut meningkatkan Pendapatan Asli daerah, menciptakan lapangan pekerjaan, mengurangi pengangguran, mengurangi kemiskinan dan lain-lain. Penempatan perempuan sebagai istri dan pendamping suami juga tercermin dalam berbagai kebijakan yang belum responsif gender ,”ungkapnya.
Sementara Nanda Dwinta Anggota GEDWG dari Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) menekankan pentingnya perspektif jender harus menjadi kerangka berpikir dalam semua isu mulai dari isu iklim, ekonomi, korupsi hingga kesehatan. Pemenuhan jender harus dipastikan. Pemahaman jender yang terbatas, termasuk dalam hal reproduksi sehingga layanan yang ada menjadi kurang berkualitas termasuk ketika melahirkan.
“Hamil itu tidak semua perempuan, Karena ada persoalan kesehatan. Masalah kesehatan reproduksi sering diindentifkan dengan masalah klinis aja, padahal harusnya itu bisa dipahami seperti memahami masalah tubuhkan kita,”ujarnya.
Menurutnya, bila perkawinan anak bisa kendalikan, maka akan memberikan banyak bermanfaat bagi kesehatan, dan pendidikan.
Nanda menyoroti layanan kesehatan reproduksi hingga saat ini masih sulit diakses terutama kelompok perempuan, rentan dan marginal.
“Masalah kesehatan reproduksi itu bukan saja soal kesehatan tapi menyangkut masalah bersama. Masalah kontrasepsi aja perlu izin pasangan, itu akan menghambat, gimana kalau pasangannya lgi tidak ada atau sedang bepergian kemana,”imbuhnya.
Ia menambahkan, yang paling penting adalah penyadaran akan penting reproduksi sebagai masalah kita bersama. “G20 harus menjadi landasan kebijakan dalam mempermudah layanan kesehatan yang terjauh dan berkualitas,”tandasnya.
Pendapat senada juga disampaikan Justin Gelatik dari Institut Kapal Perempuan. Menurutnya, forum G20 harus memastikan isu jender masuk dalam berbagai isu. Termasuk kepimpinan perempuan, terlebih sudah pernyataan dan komitmen dari Presiden Jokowi tentang pemberdayaan perempuan.
Justin juga mengingatkan perlunya pemerataan infrastuktur dan akses digital ke seluruh pelosok tanah air, termasuk daerah terluar, terdalam dan terjauh. Pemberdayaan perempuan harus dimulai dari level desa hingga level nasional.
“Kita ingin G20 tidak hanya bicara ekonomi tapi banyak aspek yang bisa diliat termasuk kepimpinan perempuan, kelompok rentan dan marginal yang berada di akar rumput,”tandasnya.
Nanda juga memaparkan tiga strategi untuk memperkuat pengarusutamaan jender di forum G20 : pertama harus ada ruang afirmasi yang lebih banyak, kedua, harus ada banyak penguatan, dan pendampingan, mulai permodalan bagi UMKM hingga membuka akses pasar. Dan terakhir, peluang kepimpinan perempuan harus dibuka dan partisipasi perempuan dalam ruang publik harus terus ditingkatkan.
Sementara Maulani Rotinsulu dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) menyampaikan selama ini agenda G20 tidak pernah bicara hak-hak penyandang disibilitas. ILO hanya hanya bicara perempuan dan pemuda, tapi tidak bicara tentang penyandang disibilitas. “Terlihat sekali penyandang disibilitas masih belum dipahami,”ujarnya.
Pada kesempatan tersebut Maulani, berterima kasih ke Working Group C2O karena mengangkat isu penyandang disibilitas . “Terimakasih pada kawan-kawan Working C2O sudah mengangkat isu penyandang disibilitas dalam forum ini,”ucapnya.
Ia menuturkan, pengarustamaan disibilitas tak hanya membutuhkan afirmasi (tindakan keberpihakan),tapi juga perlindungan, karena ada kelompok penyandang disibilitas hanya bisa diintervensi di perlindungan, bukan pemberdayaan.
Seraya menambahkan, sebenarnya sudah platform global bisa dimanfaatkan untuk membicarakan isu penyandang disibilitas yaitu Global Disibilitas Summit yang disetujui privat sektor. Namun ia berharap agar forum Forum G20 juga bisa mengangkat isu penyandang disibilitas, sehingga makin banyak pihak peduli dengan penyandang disibilitas (Wan)