Eep Saefulloh Fatah.
JAKARTA, KABAR.ID- Isu politik dinasti pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan persyaratan capres dan cawapres mendapatkan respons pro dan kontra dari publik. Kendati MK yang memutuskan atas uji materi persyaratan capres-cawapres yang diajukan penggugat, sebagian publik masih mengaitkan dengan penguasa saat ini.
Founder and CEO Polmark Indonesia Eep Saefulloh Fatah mengatakan, proses politik serius ketika menghasilkan kebijakan atau keputusan yang mengecewakan publik atau mematahkan hati, bukan logika.
“Ada dua proses yang patah dalam komunikasi politik, yaitu hati yang patah atau logika yang patah. Kalau hati yang patah susah sekali kita obati dalam waktu yang pendek. Maka hati yang patah tidak cukup disembuhkan hanya dengan 4 atau 5 bulan yang tersisa [menuju Pilpres pada 14 Februari 2024],” kata Eep dalam podcast Abraham Samad Speak Up, yang tayang di Youtube pada Kamis (26/10/2023).
Dia menjelaskan, 3 kandidat capres-cawapres memiliki waktu beberapa bulan ke depan. Akan tetapi, menurutnya, proses politik bukan semata-mata tentang kampanye. Proses politik yang terpenting itu berjalan pada diri setiap orang. Setiap pemilih mencerna apa yang terjadi di sekitar mereka, lalu menjadi dasar untuk menentukan pilihannya.
“Di saat-saat yang terakhir ketika dia harus memutuskan sesuatu, maka sekian detik bagian dalam dirinya itu berkata, itulah yang akan dia kerjakan itulah hati para pemilih. Itulah yang akan bekerja dalam pemilu 2024 dan akan mengantarkan orang datang ke TPS [tempat pemungutan suara],” jelasnya.
Eep menduga bahwa capres-cawapres yang didukung Presiden Jokowi adalah Prabowo-Gibran bisa dianggap menjadi bagian dari proses yang mematahkan hati pemilih. Presiden Jokowi sebagai kepala negara telah menegaskan bahwa mendukung semua pasangan capres-cawapres.
“Jangan-jangan pasangan itulah yang tidak akan masuk putaran kedua. Jangan-jangan di putaran kedua itu yang akan bertanding adalah Ganjar Pranowo-Mahfud MD melawan Anies Baswedan-Abdul Muhaimin Iskandar.”
Eep menegaskan bahwa proyeksi itu bisa saja salah. “Saya bisa salah nih, saya bukan dukun, saya bukan peramal. Kalau saya mau dimarahi Pak Jokowi karena ngomong begini, enggak apa-apa dimarahi presiden kan terhormat, menjadi kehormatan buat saya kalau Pak Jokowi marah.”tandasnya (Marwan Azis)