JAKARTA, KABAR.ID- Protes penolakan revisi KUHP juga disuarakan berbagai komunitas pers Indonesia seperti Dewan Pers, IJTI, AJI, PWI, LBH PERS dan LPDS.
DPR periode 2014-2019 berencana mensahkan RKUHP akhir bulan September ini. Mereka menilai jika RKUHP ini disahkan menjadi Undang Undang maka ini akan menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers yang tengah tumbuh dan berkembang di tanah air.
Ketua Umum IJTI Pusat, Yadi Hendriana yang dikonfirmasi mengatakan, pasal-pasal dalam RUU KUHP akan berbenturan dengan UU Pers yang menjamin dan melindungi kerja-kerja jurnalis.
Menurut Yadi, kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia yang harus dijamin, dilindungi dan dipenuhi dalam demokrasi.
Tanpa kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi maka demokrasi yang telah diperjuangkan dengan berbagai pengorbanan, akan berjalan mundur.
Ia menduga, jika revisi tersebut disahkan dan menjadi Undang-Undang, maka tak menutup kemungkinan pers akan dibungkam seperti saat orde baru.
“Keberadaan pasal pasal karet di RKUHP akan mengarahkan kita pada praktik otoritarian seperti yang terjadi di era Orde Baru yang menyamakan kritik pers dan pendapat kritis masyarakat sebagai penghinaan dan ancaman kepada penguasa,”ujarnya.
Adapun pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers menurut Yadi adalah Pasal 219 tentang Penghinaan Terhadap Presiden atau Wakil Presiden, kemudian Pasal 241 tentang Penghinaan Terhadap Pemerintah.
Ketiga, yakni Pasal 247 tentang Hasutan Melawan Penguasa, keempat Pasal 262 tentang Penyiaran Berita Bohong, kelima Pasal 263 tentang Berita Tidak Pasti, keenam Pasal 281 tentang Penghinaan Terhadap Pengadilan.
Ketujuh, yakni Pasal 305 tentang Penghinaan Terhadap Agama, kedelapan Pasal 354 tentang Penghinaan Terhadap Kekuasaan Umum atau Lembaga Negara, sembilan Pasal 440 tentang Pencemaran Nama Baik, terakhir yakni Pasal 444 tentang Pencemaran Orang Mati.
Presiden Joko Widodo sudah meminta agar pengesahan RKUHP ini ditunda dan tidak harus dipaksakan untuk disahkan oleh DPR periode sekarang. Namun, jika DPR tetap bersikeras mengesahkan RKUHP ini, RKUHP akan tetap berlaku meskipun presiden sebagai kepala negara tidak menandatanganinya.
“Situasi ini menunjukkan adanya darurat kebebasan pers!! RKUHP ini bisa akan dijadikan alat untuk membungkam pers yang kritis!!,”tulis komunitas pers Indonesia dalam petisinya yang diterima Kabar.id (24/9).
“Tidak ada cara lagi selain kita harus menolak. Insan pers, penggiat demokrasi dan seluruh lapisan masayarakat harus bersatu bersama-sama menolak RKUHP,”tutur Yadi.(Wan)