JAKARTA, KABAR.ID- Bank Indonesia memberikan sinyal bahwa nilai tukar rupiah masih berpeluang menguat lebih tinggi dari posisi saat ini di Rp14.052 per dolar AS, bahkan lebih rendah dari level Rp14.000 per dolar AS seperti yang sempat terjadi beberapa waktu pada tahun ini.
Gubernur BI Perry Warjiyo di Jakarta, Jumat, mengatakan penguatan rupiah “yang berkelanjutan” bisa terjadi dengan sentimen positif yang timbul dari stabilitas ekonomi domestik.
Parameter positif dari ekonomi domestik, ujar Perry, – lain terjaganya inflasi hingga Oktober 2019 dan prospek positif neraca transaksi berjalan dan neraca pembayaran di sisa tahun.
“Masih ada ruang bagi rupiah untuk lebih menguat, dan terbukti itu (rupiah) beberapa kali di bawah Rp14 ribu per dolar AS. Itu ada indikasi atau ruang bagi rupiah untuk menguat, dengan tentu saja inflasi kita yang lebih rendah dan juga prospek ekonomi yang cukup baik,” jawab Perry ketika ditanya sikap Bank Sentral melihat pergerakan rupiah yang dalam beberapa hari terakhir bergerak stabil di kisaran Rp14.000 per dolar AS.
Perry mengatakan pergerakan rupiah yang dalam beberapa hari terakhir stabil di kisaran Rp14.000-Rp14.100 per dolar AS didukung oleh aksi jual beli sesuai mekanisme pasar. Dia meyakini jika penguatan rupiah berlanjut, akan mendukung kegiatan bisnis pelaku usaha seperti untuk kegiatan impor barang modal.
“Beberapa kali nilai tukar di bawah Rp14 ribu per dolar AS. Begitu di bawah itu, kemudian sejumlah korporasi yang membutuhkan dolar meningkatkan pembelian baik untuk impor atau pembayaran, tapi di satu sisi eksportir juga kemudian mensuplai dan ini bergerak sesuai dengan mekanisme pasar dan itu mendukung stabilitas nilai tukar,” ujar dia.
Selain dari sentimen domestik, sebenarnya terdapat katalis positif bagi rupiah dari eksternal ketika Bank Sentral AS The Federal Reserve menurunkan suku bunga acuan pada Kamis (31/10) sehingga mengurangi potensi pelarian modal dari aset-aset rupiah. Suku bunga AS untuk ketiga-kalinya dipangkas menjadi 1,5-1,75 persen.
Namun, kata Perry, penurunan suku bunga acuan AS tidak terlalu begitu berpengaruh terhadap pasar keuangan Indonesia. Hal itu karena pelaku pasar sudah mengantisipasi kenaikan suku bunga The Fed sehingga tidak ada pergerakkan signifikan dari arus modal asing.
Perry menggarisbawahi kepercayaan global masih terjaga terhadap Indonesia, terbukti dari tingginya aliran modal asing yang masuk ke Tanah Air.
“Nilai tukar bergerak relatif stabil. Mekanisme pasar berkembang secara baik mengenai suplai dan permintaan,” ujarnya.
“Jadi tidak ada pengaruh-pengaruh signifikan dari global, termasuk penurunan bunga The Fed,” tambah Perry. (Ant/KB)